Sejarah Desa Jungkare
Desa Jungkare merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Berdasarkan riwayat, wilayah Desa Jungkare dahulunya merupakan hutan belukar yang ditumbuhi oleh banyak gelagah alang-alang. Kemudian pada suatu hari datanglah dua bersaudara bernama Nyai Jengkare dan adiknya yang bernama Kyai Ageng Gribig. Keduanya membakar hutan belukar tersebut hingga area dengan bekas api dari pembakaran tersebut dijadikan sebagai padukuhan dan ditanami bermacam-macam jenis tanaman. Jika dilihat berdasarkan peta Desa Jungkare saat ini, terdapat beberapa jalan yang di tepinya berliku-liku, hal tersebut diyakini karena disebabkan oleh bekas api dari pembakaran hutan yang dilakukan oleh Nyai Jengkare dan Kyai Ageng Gribig. Terdapat pula tanaman peninggalan dari Nyai Jengkare dan Kyai Ageng Gribig yang sampai saat ini masih tersisa adalah pohon nangka gedhe. Setelah banyak yang menghuni pedukuhan tersebut, Kyai Ageng Gribig kemudian jengkar (dalam bahasa Jawa berarti berpindah) ke arah barat yakni wilayah Jatinom. Kata jengkar tersebut kemudian yang kemudian menjadi jungkare yang dijadikan sebagai nama desa yang ditinggali oleh Nyai Jengkare yakni Desa Jungkare. Nyai Jengkare memutuskan untuk menetap di Desa Jungkare, sesekali Kyai Ageng Gribig mengunjunginya. Berdasarkan cerita dari para sesepuh, Kyai Ageng Gribig setiap bulan puasa akan pergi ke Desa Jungkare untuk menjadi imam salat tarawih di Desa Jungkare. Setelah selesai menjadi imam salat tarawih di Desa Jungkare, Kyai Ageng Gribig akan kembali ke Jatinom untuk menjadi imam salat tarawih di sana.
Desa Jungkare juga disebut Desa Karangjungke, hal tersebut disebabkan pada akhir Perang Diponegoro terdapat seorang pahlawan bernama Kyai Mojo yang dimakamkan di Desa Jungkare. Pasukan Belanda yang saat itu hendak menangkap Kyai Mojo tidak berhasil dikarenakan kesaktian yang dimiliki oleh Kyai Mojo. Para anak buah Kyai Mojo diperintahkan untuk bersembunyi di goa buatannya, sedangkan pasukan Belanda menjadi tidak terarah dan tidak dapat menemukan keberadaan Kyai Mojo beserta anak buahnya. Goa-goa buatan Kyai Mojo hingga saat ini masih bisa dijumpai di tepi sungai sebelah barat Desa Jungkare dan dikenal dengan sebutan Rong Pedhet. Hal tersebut disebabkan karena dahulu terdapat sapi kecil atau yang dalam bahasa Jawa disebut pedhet yang digembala di sungai dekat goa-goa tersebut hingga seringkali sapi-sapi kecil tersebut secara tidak sengaja masuk ke dalam goa-goa tersebut dan kesulitan untuk keluar. Karena gagal menangkap Kyai Mojo, pasukan Belanda kemudian pergi menemui Gubernur Jendral Belanda untuk melapor, Gubernur Jendral Belanda pun berunding dengan Raja Surakarta mengenai bagaimana cara agar dapat menangkap Kyai Mojo. Hasil dari perundingan tersebut adalah diadakannya sayembara yakni barang siapa yang dapat menangkap dan menyerahkan Kyai Mojo ke Istana Surakarta maka akan diberi hadiah berupa kedudukan dengan pangkat Bupati Anom/Kliwon tujuh turunan serta gelar Tumenggung. Sayembara tersebut dengan cepat tersebar di seluruh wilayah kerajaan Surakarta.
Di sisi lain, setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo bersama pasukannya menjadi buyar dan lumpuh. Ia kemudian merasa putus asa untuk melanjutkan perang. Maka diutuslah salah seorang anak buah Kyai Mojo yang bernama Muthahal untuk menghadap Raja Surakarta dan mengikuti sayembara yang sedang diselenggarakan. Kyai Mojo nantinya akan menunggu di Kleco untuk dijemput dan diserahkan ke Istana Surakarta. Muthahal pun menyetujuinya dan segera berangkat ke Istana Surakarta, sedangkan Kyai Mojo menuju Kleco melewati Jungkare, Jebugan, Karanganom, Jungjero menuju ke Janti. Di Janti, ia singgah sejenak ke makam orang tuanya. Sesampainya di Kleco, Kyai Mojo tidak menunggu lama karena Muthahal langsung menangkapnya dan mengikatnya dengan cinde kemudian ia dinaikkan kereta dan dibawa ke hadapan Raja Surakarta di Istana. Kyai Mojo kemudian diasingkan di Ambon. Muthahal yang berhasil menangkap Kyai Mojo dan memenangkan sayembara tersebut kemudian diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Kliwon Karangjungke Reksodipuro I dan kembali ke Jungkare, namun ia memutuskan untuk tinggal di Karanganom. Beliau merupakan orang pertama yang mendirikan pabrik gula tebu menjadi gula batu, bekas pabrik yang didirikannya hingga sekarang masih berada di totogan jalan dari Desa Jungkare sebelah selatan dari Desa Jebugan dan Desa Karanganom. Pabrik tersebut bernama Pabrik Karangjungke. Muthahal wafat ketika sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci hingga kemudian pabrik gula tersebut diambil alih oleh Ondereming Belanda dan dipindahkan ke timur yaitu ke daerah Karanganom. Pabrik tersebut kemudian direnovasi dan beralih memproduksi gula pasir.
Berhubung pimpinan dari pabrik gula tersebut masih dari keluarga kerajaan yang mana memiliki kuasa atas semua tanah dan area pabrik untuk tanaman tebu, maka sawah-sawah di Desa Jungkare dengan mudah disewa oleh pihak pabrik untuk memenuhi kebutuhan pabrik gula tersebut. Para petani merasa menderita karena sawah-sawahnya terus dikurangi dan tenaga mereka diperas oleh Onderneming Belanda. Banyak masyarakat Desa Jungkare mengajukan tuntutan kepada raja dan mengajukan perwakilan mereka untuk menghadap Patih Dalem untuk menyampaikan tuntutannya (berdasarkan cerita Mbah Harjodikromo, salah satu tokoh yang ikut berpartisipasi saat terjadinya demonstrasi di Surakarta yang dipimpin oleh Wongsorejo Wates). Setelah peristiwa tersebut datanglah Ir. Soekarno untuk berpidato di kediaman Mbah Demang Mangunpawiro. Rupanya hal tersebut diketahui oleh pihak Belanda dan banyak pemuda dari Desa Jungkare yang diambil untuk ditindak lanjuti di Kawedanan Ponggok. Di antara pemuda-pemuda tersebut, terdapat pemuda bernama Haji Abdullahhadi dan Ahmad Rustam. Setelah beberapa saat ditindak lanjuti di Kawedanan Ponggok, para pemuda diperintahkan untuk kembali ke Desa Jungkare. Namun setelah itu, pemerintah Belanda terus menerus memberikan pengawasan yang ketat terhadap Desa Jungkare dan dikirimkan pula satu pasukan kompeni Belanda untuk bermalam di kediaman R. Harjosudarso.
Saat masih perang untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Desa Jungkare dijadikan sebagai markas para pejuang-pejuang kemerdekaan. Para gerilyawan sering menghadang tentara Belanda di sebelah utara desa pada saat tentara Belanda menduduki Jatinom, seorang pemuda dari Desa Jungkare yang pada saat itu gugur dalam peristiwa perang bernama Much Tahrir dan dimakamkan di Makam Daleman Jungkare. Karena seringnya pencegatan tentara Belanda di wilayah utara, hal tersebut menimbulkan kemarahan dari pihak Belanda hingga beberapa wilayah di Desa Jungkare dihujani api yang konon katanya terdapat ratusan rumah penduduk dibakar oleh tentara Belanda. Namun peristiwa tersebut tidak membuat warga Desa Jungkare gentar dan justru semakin gigih untuk melawan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan.
Desa Jungkare merupakan salah satu desa yang paling banyak mengalami pergantian pemimpin sejak adanya lurah pada tahun 1921. Adapun Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Jungkare adalah sebagai berikut:
Kepala Desa I : Darmo Sutirto sejak tahun 1921-1924
Kepala Desa II : Demang Trunodikoro sejak tahun 1924-1929
Kepala Desa III : Sastrowirjo sejak tahun 1929-1933
Kepala Desa IV : Djojokartono sejak tahun 1933-1939
Kepala Desa V : Wiryohamijoyo sejak tahun 1939-1944
Kepala Desa VI : Harjosukaryo sejak tahun 1944-1944
Kepala Desa VII : Wiryowiyoto sejak tahun 1944-1947
Kepala Desa VIII : H Djuraimi sejak tahun 1947-1956
Kepala Desa IX : H Maesuri sejak tahun 1956-1988
Kepala Desa X : Joko Supama sejak tahun 1988-1991
Kepala Desa XI : Gunawan Wibisono sejak tahun 1991-1993
Kepala Desa XII : Ali Walgito sejak tahun 1993-2002
Kepala Desa XIII : Wakhid Muhsin sejak tahun 2002-2013
Kepala Desa XIV : Ananti Windu Nugroho tahun 2013-2019
Kepla Desa XV : Wakhid Muhsin Tahun 2020-2025